Retno Wahyu Nurhayati, peneliti dari FKUI mengembangkan terapi sel punca dengan tawaran inovasi lebih jauh mengenai pemanfaatan sel bagi dunia kesehatan. (Foto: Thinkstock/Dr_Microbe)
Jakarta, CNN Indonesia — Dalam dunia medis, terapi sel punca atau stem cell telah menjadi harapan baru. Terapi ini dianggap lebih maju daripada terapi konvensional, karena mampu mematikan penyakit tanpa merusak sel sekitar.
Menurut Retno Wahyu Nurhayati, peneliti dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, hingga kini hanya ada dua rumah sakit yang diperbolehkan mengembangkan dan melakukan pelayanan terapi sel punca yakni Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo FKUI dan Rumah Sakit Dr. Sutomo Universitas Airlangga. Terapi pun masih bergantung pada teknologi asing.
“Kalau kita fokus, kita bisa punya sendiri. Oleh karena itu saya diundang di FKUI untuk meneliti stem cell. Para dokter sudah terlampau sibuk dengan praktek, ada juga yang mengajar, dan tak memiliki waktu untuk riset, maka mereka ingin mengisi kekosongan itu,” ujar Retno saat ditemui usai menerima penghargaan L’Oreal – UNESCO For Women in Science National Fellowship Award di Kemenristek Dikti, Jakarta Selatan, Kamis (9/11).
Retno menjadi satu dari empat peneliti yang menerima penghargaan untuk melanjutkan dan mengembangkan gagasannya.
Lebih jauh, transplantasi sel punca yang paling ketat prosedurnya, menurut Retno, ialah transplantasi sel punca darah. Sel punca darah bisa didapat dari tubuh pasien itu sendiri, darah tali pusar dan donor. Seperti donor darah biasa yang perlu kecocokan golongan darah dan rhesus, donor sel punca harus memiliki setidaknya 8 kriteria kecocokan.
“Seperti manusia yang punya nama, serta identitas lain, sel juga punya banyak sekali jenis protein yang mengelilingi. Sel punca yang cocok setidaknya memenuhi 8 kriteria yang harus sama,” jelas Retno.
Jika sel punca tidak cocok, tubuh akan menolak karena tubuh akan mendeteksi sel sebagai benda asing. Retno mengatakan, hal ini menjadi kesulitan dalam terapi sel punca. Pasalnya, perlu waktu lama untuk mencari donor yang cocok, belum lagi jika pasien perlu sel dalam dosis tinggi. Donor belum ditemukan dan pasien terlanjur tak tertolong.
Ia pun berinisiatif menyusun proposal penelitian berjudul “Mikroenkapsulasi Sel Punca Hematopoetic dengan Hidrogel Poli (Pro-Hyp-Gly) Menggunakan Immmiscible Media”. Di sini ia menawarkan inovasi untuk membuat ‘bungkus’ bagi sel punca yang tidak memenuhi kriteria.
“Teknologi yang saya tawarkan, kita gunakan sel punca yang cocok dalam dosis kecil, dikombinasikan dengan sel punca yang enggak cocok tapi kita bungkus. Yang kita butuhkan produk ekstrak dari sel punca itu biar bisa mendukung sel punca yang cocok,” katanya.
Retno menuturkan, dengan adanya pembungkus atau mikrokapsul ini, nanti kebutuhan sel punca yang cocok tidak begitu besar karena dipadu dengan sel punca yang tidak cocok. Ia berharap, dalam setahun mikrokapsul pembungkus sel punca dapat selesai diproduksi. Tahap berikutnya ialah uji di hewan coba dan uji di pasien.
“Ini terbukti enggak di hewan coba, setelah hasil konsisten, baru ke pasien,” tutupnya. (rah)
Sumber:https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20171110153947-255-254817/melihat-potensi-lain-dari-terapi-sel-punca/