Mikronutrien, Masalah Pangan yang Patut Jadi Perhatian

0
454

Mikronutrien atau zat gizi mikro menjadi masalah pangan yang dianggap mendesak untuk jadi perhatian pemerintah, di samping pemanfaatan pangan sisa. (Foto: oxonimages/Pixabay)

Jakarta, CNN Indonesia — Secara global, dunia tak hanya menghadapi persoalan pasokan pangan, tetapi juga krisis mikronutrien atau zat gizi mikro.

Seperti diketahui, mikronutrien adalah zat gizi yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah sedikit, tapi mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan hormon, aktivitas enzim serta mengatur fungsi sistem imun dan sistem reproduksi.

Kekurangan mikronutrien ditengarai jadi satu dari sekian faktor risiko penyakit kardiovaskuler seperti gagal jantung, penyakit jantung iskemik dan stroke.

Maura Linda Sitanggang, Dirjen Farmasi dan Alat Kesehatan Kemenkes memaparkan, analisis pengeluaran biaya kesehatan secara global berkaitan dengan penyakit kardiovaskular dapat meningkat 22 persen hingga 2030. Biaya meningkat dari US$863 miliar (Rp11,7 juta), menjadi US$1,044 miliar (Rp14 juta).

“Ini kenaikannya ada 22 persen. Kalau global 22 persen, kalau Asia Pasifik itu the most population itu kan lebih dari 22 persen. Cuma kalau ditanya angka persisnya belum terintegrasi,” kata Linda usai konferensi pers dalam rangka Forum Pangan Asia Pasifik di Hotel Shangrila, Jakarta, Selasa (31/10).

Kekurangan mikronutrien, lanjut Linda, juga dapat mengakibatkan cacat pada bayi, gangguan mental karena kekurangan yodium, penurunan IQ, penurunan kekebalan tubuh juga rentan terkena diare.

Persoalan krisis zat gizi mikro ini seakan jadi wajah baru masalah kelaparan. Orang merasa sudah makan makanan bergizi lengkap tapi ternyata belum mencukupi kebutuhan zat gizi mikro. Oleh karenanya, dalam forum diskusi pada Forum Pangan Asia Pasifik, tercapai dua rekomendasi sebagai langkah untuk mengatasi krisis nutrisi mikro.

Pertama, strategi mengatasi krisis mikronutrien yakni dengan berbagai cara seperti suplemen makanan, fortifikasi atau pemberian zat gizi tambahan pada makanan, diversifikasi pangan, dan pendidikan nutrisi.

Forum juga memberikan strategi alternatif yakni pangan fungsional dan phytochemical atau phytonutrient. Linda menjelaskan, pangan fungsional adalah pangan yang memberikan manfaat kesehatan di luar zat gizi dasar yang terkandung di dalamnya.

Manfaat kesehatan di luar gizi dasar yang dimaksud bisa didapat melalui pemrosesan atau modifikasi pangan atau campuran bahan makanan.

“Yang sering kita dengar itu vitamin dan mineral. Di luar itu juga ada zat lain misalnya likopen dari wortel, buah, sayur, manggis itu mangosten. Jadi itu (phytonutrient) adalah zat mikro yang dalam kesehatan itu ada kegunaan juga. Tapi memang butuh evidence based, perlu pembuktian saintifik tentang keamanannya,” jelas Linda.

Kedua, perlu adanya teknologi untuk memanfaatkan zat pangan sisa. Linda menuturkan, pemrosean makanan menimbulkan bahan sisa dan kadang dibuang begitu saja. Melihat kondisi ini, perlu ada teknologi untuk memanfaatkannya.

“Cuma kalau nggak tepat, nutrisinya komponennya bisa rusak. Dengan pemanasan bisa rusak, oksidasi bisa rusak, dan lain-lain,” tambahnya.

Pengolahan sisa bahan pangan misalnya pemanfaatan bonggol nanas menjadi suplemen bromelin. Bonggol nanas mengandung bromelin yang berguna untuk mengatasi radang, membantu sistem pencernaan dalam memecah protein serta melunakkan makanan yang masuk di lambung, dan membantu menyembuhkan batuk. Contoh lainnya, kulit biji melinjo atau kulit dalam yang keras juga biji pepaya menurut Linda punya kandungan nutrisi tapi masih banyak dibuang.

“Oleh karena itu, perlu teknologi tertentu agar nutrisi tidak rusak, dikawal di laboratorium supaya tidak ada racun dan kontaminasi,” katanya. (rah)

Sumber:https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20171101084221-262-252613/mikronutrien-masalah-pangan-yang-patut-jadi-perhatian/

LEAVE A REPLY