Masyarakat di pedalaman Kalimantan Utara. Selama ini mereka banyak mengandalkan transportasi udara dan air. (Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
Yogyakarta, CNN Indonesia — Maskapai penerbangan nonkomersial Mission Aviation Fellowship (MAF) adalah maskapai yang banyak melayani kawasan pedalaman Kalimantan Utara. Maskapai milik lembaga misionaris asing ini habis masa operasinya dan tak diperpanjang oleh pemerintah. Ratusan mahasiswa Dayak asal provinsi itu pun protes.
Dalam unjuk rasa beberapa waktu lalu di Yogyakarta, sejumlah organisasi kemahasiswaan Dayak Kalimantan Utara di Yogyakarta mengeluarkan pernyataan sikap. Mereka meminta Presiden Joko Widodo mencabut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 467 Tahun 2017 dan mengeluarkan kembali izin operasi MAF.
Selama ini penerbangan MAF, kata mereka, banyak melayani angkutan untuk orang sakit, mahasiswa yang berlibur, kebutuhan pokok, urusan pemerintahan, dan sekolah masyarakat pedalaman. Mereka juga menuntut pemerintah membangun infrastruktur penunjang kesehatan, akses jalan ke pedalaman yang terisolir bahkan sejak Indonesia merdeka.
MAF selama ini melayani penerbangan di daerah pedalaman di Provinsi Kalimantan Utara untuk warga Lumbis Ogong, Krayan Induk, Krayan Selatan, Krayan Tengah di wilayah Kabupaten Nunukan. Sedangkan wilayah Kabupaten Malinau di antaranya: Long Sule, Long Pipa dan daerah terisolir lainnya.
Tapi keputusan Menteri Perhubungan itu telah membatasi operasional MAF selama 6 bulan terhitung dari 8 Mei sampai 8 November 2017, untuk mengangkut penumpang dan barang dengan memungut biaya. Penghentian operasi itu jelas berdampak pada masyarakat.
Kelompok mahasiswa yang memprotes keputusan itu adalah: Ikatan Keluargan Pelajar Mahasiswa Kalimantan Utara (IKPMKU), Persekutuan Dayak Lundayeh (PDL), Ikatan Pelajar Mahasiswa Dayak Kenyah (IPMDK), Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Krayan (IKPMK), Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Malinau (IPMKM), Persekutuan Mahasiswa Dayak Agabag Kalimantan Utara (PMDAKU-DIY), Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Mararian (IKPMM), dan GKII FILIPI FAMILY Yogyakarta.
Steven Tonglo, mahasiswa hukum di Atma Jaya Yogyakarta bertutur: “Kehadiran pesawat MAF di daerah Krayan bagi saya sangat penting untuk transportasi seperti di daerah saya saat ini belum terjangkau oleh jalan darat yang terhubung ke kota besar. Bila kita hitung mundur pesawat MAF ini sudah melayani masyarakat selama kurang lebih 60 tahun, sekaligus membuka landasan-landasan pesawat perintis di antaranya di Binuang, Pa’padih, Pa’upan, Long Umung, dan masih banyak lainnya.”
Menurutnya, penghentian izin terbang pesawat MAF seharusnya tidak terjadi. Alasannya, itu menyangkut kepentingan banyak orang terutama masyarakat pedalaman di perbatasan. “Bagi saya aturan itu mencederai masyarakat perbatasan, bukankah hukum atau aturan itu seharusnya menjamin kebahagiaan masyarakat?” katanya.
“Khususnya di Kecamatan Bahau Hulu pesawat MAF itu salah satu transportasi yang sangat kami butuhkan, seperti untuk mengantar orang sakit apalagi mendesak karena tidak ada obat di kampung pasti dirujuk ke kota dan satu-satunya jalan pasti naik pesawat MAF,” ujar Yusia, mahasiswa di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
“Kalau transportasi lain ada seperti naik perahu, tapi ya itu perlu waktu lama paling cepat 2-3 hari itupun kalau cuaca mendukung. Kalau cuaca tidak mendukung 4 hari sampai 1 minggu baru tiba di kota,” katanya lagi.
Wempi, mahasiswa dari UST sekaligus Ketua IKPMKU, mengatakan: “Kami seluruh mahasiswa Kaltara yang ada di Yogyakarta akan terus bersuara sampai hak kami dapat solusi dari pemerintah. Aksi damai hari ini sebagai tuntutan kepada bapak Presiden. Sebagai perwakilan mahasiswa harapan saya kalau ada kepentingan pemerintah untuk memberhentikan MAF ini kita berharap ada solusi yang tepat tidak seperti sekarang ini,” ujarnya.
Dia menilai, keputusan pemerintah Indonesia buruk. “Karena sebenarnya tidak sulit bagi mereka untuk datang langsung melihat keadaan di lapangan (perbatasan) dengan transportasi dan melalui media komunikasi yang serba canggih hari ini, mereka tidak susah untuk mendapatkan kelengkapan demografi di situ. Nah, ketika mereka tidak melakukan tahapan itu sebagai studi pendahuluan, yang jadi pertimbangan terhentinya penerbangan MAF. Ini yang saya katakana jahat itu. Mereka bukannya tidak tahu kalau satu-satunya yang dapat menghubungkan masyarakat terisolir di Kalimantan Utara atau mungkin juga daerah Papua,” ujar dia.
Reahabiam Bilung, warga Krayan, mengatakan MAF itu telah menghubungkan dan menggerakkan arus barang di Kalimantan Utara. Kalau tak beroperasi, konsekuensinya banyak sekali. Khususnya pelayanan kesehatan. “Pertanyaannya adalah ada nggak puskesmas yang memadai dari pemerintah? Kalau ada, gedung puskesmasnya ada nggak? Fasilitas-fasilitas memadai? Jadi pastilah masyarakat ketika mengalami situasi darurat dirujuk ke kota Tarakan, Malinau dan kotalainya. Sebab satu-satunya transportasi yang akan mengantar mereka, ya pesawat MAF,” katanya.
Reahabiam meminta pemerintah mencabut keputusan Menhub itu. “Pemerintah seharusnya bersyukur gitu loh, harus mendukung dan bersyukur tetap mengizinkan pesawat MAF itu sampai pemerintah dapat menyiapkan infrastruktur pengganti, tentu yang layak kalau pesawat ya pesawat, ya pemerintah kasih dong pesawat. Kalau memang ada akses jalan darat disediakan ya harus manusiawi. Nah itu yang dapat menjadi harapan saya, mari kita buat keputusan yang bijaksana.”
Lio Bijumes
Mahasiswa Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta (ded/ded)
Sumber:https://student.cnnindonesia.com/inspirasi/20171129121744-454-258879/mahasiswa-protes-penghentian-operasi-penerbangan-di-pedalaman/