Kemasan makanan styrofoam aman digunakan karena tidak melebihi batasan kandungan zat kimia berbahaya. Benarkah demikian? (Foto: Thinkstock/Gam1983)
Jakarta, CNN Indonesia — Hingga saat ini, banyak mitos beredar seputar kemasan makanan jenis plastik atau styrofoam. Ada yang menyebutnya sebagai penyebab kanker, ada juga yang menganggapnya berbahaya untuk mata.
Tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan, tapi juga pada lingkungan. Banyak yang beranggapan, styrofoam tidak mudah diurai alam, dan merusak lingkungan. Penggunaannya yang berlebihan membuat sungai dan gorong-gorong bermasalah.
Namun, ternyata berbagai anggapan tersebut tak sepenuhnya benar. Apa saja fakta di baliknya?
1. Mitos: Styrofoam memicu kanker?
Fakta: Tidak sepenuhnya benar.
Akhmad Zainal Abidin, Kepala Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran ITB menjelaskan styrofoam aman digunakan untuk kemasan makanan sehari-hari. Kemasan makanan ini terbuat dari polistirena atau polimer stirena yang terbuat dari minyak bumi.
Kandungan stirena, kata dia, memang memilik zat karsinogenik yang dapat memicu pertumbuhan kanker saat berpindah pada makanan yang dikonsumsi tubuh. Akan tetapi, dia memastikan styrofoam yang beredar di pasaran saat ini tidak menimbulkan kanker.
Dosen ITB ini menjelaskan nilai asupan zat stirena yang berpindah dari styrofoam ke tubuh adalah 0,46-12 miligram per orang per hari. Akhmad juga membandingkan dengan kandungan stirena yang juga terdapat dalam telur sebesar 10 mikrogram per kilogram, dan stroberi 274 mikrogram per kilogram.
“Artinya jauh lebih rendah dari batas aman yang ditetapkan. Dan stoberi saja lebih besar kandungan stirenanya,” ujar Akhmad dalam media gathering mengupas styrofoam, di Jakarta, Kamis (18/1).
2. Mitos: Styrofoam merusak lingkungan?
Fakta: Tak sesuai.
Kabar styrofoam merusak lingkungan menyeruak ketika Walikota Bandung, Ridwan Kamil mengedarkan larangan menggunakan styrofoam sebagai pembungkus makanan. Hal ini karena styrofoam banyak menumpuk menjadi sampah di sungai. Akhmad lalu menyebut bahwa fakta itu tidak sesuai. Menurut temuannya, styrofoam terlihat banyak karena bahannya yang bisa mengapung.
“Padahal sampah-sampah lain banyak berada di bawah styrofoam, cuma tidak terlihat. Sampah plastik yang paling sedikit,” kata Akhmad, yang juga merupakan warga Bandung.
3. Mitos: Styrofoam, sampah yang tidak bisa terurai?
Fakta: Tak bisa diurai alami, tapi bisa dengan teknologi.
Akhmad menjelaskan bahwa styrofoam memang tak bisa terurai dengan alami. Namun, Akhmad menyebut saat ini perkembangan zaman tidak lagi mengandalkan penguraian alami.
“Waktu terdegradasinya butuh 1.000 tahun. Tapi sekarang bisa dalam hitungan detik dan menit dan tidak butuh ruang yang banyak karena teknologi sudah berkembang,” ucap Akhmad.
Akhmad memaparkan saat ini standar ramah lingkungan tidak lagi melihat bisa atau tidak terurai melainkan dengan bisa atau tidak didaur ulang. Daur ulang styrofoam, kata Akhmad, lebih mudah ketimbang kertas yang digunakan pengganti styrofoam dalam kasus di Bandung. Karena, kertas itu dilapisi dengan plastik dan mesti dipisahkan terlebih dahulu saat didaur ulang.
“Memprosesnya lebih susah, lebih tidak ramah lingkungan, lebih mahal,” ujar dia. Menurut Akhmad, sampah styrofoam ini bisa didaur ulang menjadi kerajinan tangan, pigura, beton ringan untuk perumahan, hingga pembersih senyawa sulfur yang digunakan Pertamina. (rah)
Sumber:https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180118201915-255-270012/mengungkap-fakta-di-balik-mitos-seputar-styrofoam